Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Widget Atas Posting

Pernikahan Dibawah Umur : Penyebab, Dampak, dan Pencegahan

Pernikahan, pasti banyak orang tidak asing lagi dengan kata pernikahan, namun apa jadinya jika pernikahan di lakukan pada anak di bawah umur? Apa penyebab dari maraknya pernikahan anak di bawah umur atau belum pada usia matang? Apa sih dampak dari pernikahan anak dibawah umur? Lalu bagaimana cara menghindari pernikahan dibawah umur? 
UNICEF mengatakan anak-anak yang menikah di usia dini cenderung meninggalkan bangku sekolah, memiliki peluang ekonomi yang terbatas, dan lebih rentan terhadap kekerasan dan kesehatan mental dibandingkan mereka yang menikah pada usia matang. "Pernikahan dini mencuri masa kecil," demikian dikatakan Direktur UNICEF Henrietta Fore.
Yuk kita pelajari satu persatu.

Dilansir dalam KOMPAS.com, dari hasil data studi observasi Yayasan Plan International Indonesia (Plan Indonesia) bersama Koalisi Perempuan Indonesia meluncurkan studi Perkawinan Bukan untuk Anak: Protret Perkawinan Anak di 7 Daerah Paska Perubahan UU Perkawinan, yang menghasilkan 9 faktor pemicu pernikahan dibawah umur termasuk dimasa Pandemi Covid-19 yang turut memicu perkawinan anak dibawah umur. Berikut adalah 9 faktor pemicu perkawinan anak dibawah umur.

1. Sosial 

Faktor sosial menjadi yang paling menonjol sebagai pendorong kasus perkawinan anak dibawah umur, karena beberapa pengaruh berikut ini. 
  • Adanya pengaruh lingkungan 
  • Perilaku berpacaran yang berisiko 
  • Tekanan orang tua untuk mendapatkan cucu atau menantu 
  • Adanya desakan masyarakat sekitar 
  • Mengikuti teman yang sudah menikah 
  • Hubungan tidak mendapatkan restu orang tua 
  • Keinginan kuat dari anak sendiri untuk menikah 
Faktor Lingkungan pun seringkali berhubungan erat dengan perkawinan anak dibawah umur baik secara social maupun kondisi geografis.

2. Kesehatan 

Faktor kesehatan ini dipicu oleh kehamilan remaja, kondisi emosional dan mental remaja yang belum matang, pengetahuan yang terbatas tentang kesehatan reproduksi dan seksualitas, serta pola berpacaran remaja yang berisiko. Semua ini memberikan pengaruh yang cukup besar terhadap perkawinan anak dibawah Umur.

3. Pola Asuh Keluarga 

Faktor berikutnya yang mendorong kasus perkawinan anak adalah pola asuh keluarga. Pola asuh dalam keluarga erat kaitannya dengan kejiwaan anak yang dapat berdampaknya pada keputusan anak terhadap hidupnya. 
  • Anak korban perceraian orang tua (Broken Home) akan berpotensi mengalami gangguan secara mental dan psikologi. Dalam situasi ini, anak mencoba mencari tempat nyaman di luar rumah, seperti di rumah teman, di rumah pacar hingga akhirnya terjadi hal yang tidak diinginkan dan memutuskan untuk menikah. 
  • Anak yatim atau yang tidak tinggal dengan keluarga dekat atau walinya sehingga kurang mendapat perhatian dan pengasuhan yang layak, sehingga rentan melakukan tindakan beresiko termasuk perkawinan anak dibawah umur.
  • Anak yang kurang perhatian dan kasih sayang dari orang tuanya, termasuk sikap orang tua yang acuh terhadap perkembangan anaknya sehingga mengakibatkan anak kurang memiliki motivasi untuk melakukan hal-hal yang positif dalam kehidupannya. 
  • Anak dengan orang tua yang memiliki pola pikir dan pengasuhan yang terlalu kaku dan mempunyai kekhawatiran yang berlebihan terhadap pergaulan anak. Pola pikir orang tua seperti ini kemudian cenderung mendorong anak penasaran dan mencoba melakukan praktik perkawinan anak demi menghindari potensi dampak negatif dari pergaulan

4. Ekonomi 

Faktor ekonomi menjadi salah satu pemicu orang tua atau keluarga untuk mengawinkan anaknya di usia dini. Sebagian orang tua memiliki obsesi demi memperbaiki perekonomian rumah tangga, yaitu dengan menjodohkan anak saat masih berusia di bawah 19 tahun dengan harapan untuk mengurangi beban pengeluaran ekonomi keluarga. 

5. Kemudahan akses informasi 

Faktor lainnya adalah peningkatan penggunaan internet dan media sosial (medsos) yang semakin pesat tanpa ada batasan dan tanpa pemantauan dari orang tua, terutama di kalangan anak dan remaja, yang mulai berinteraksi dengan remaja lain dan banyak mencoba-coba banyak hal yang terdapat di media social.
Paparan konten pada anak dapat termasuk konten negatif yang beresiko terhadap hidupnya, seperti pornografi, promosi perilaku pacaran beresiko pada remaja, informasi yang salah tentang seksualitas dan reproduksi, promosi perkawinan anak, dan sebagainya.

6. Adat dan budaya 

Adat dan budaya dapat disalahartikan didalam suatu kelompok budaya atau masyarakat yang kemudian dijadikan semacam stigma, nilai, dan kepercayaan dan pelabelan sosial bagi anak yang belum menikah. Sebagai contoh yang terjadi seperti tekanan kepada anak perempuan dengan berbagai julukan seperti "perawan tua" atau "perempuan tidak laku" yang mendorong keluarga sesegera mungkin mengawinkan anak meraka di usia dini.

7. Pendidikan 

Faktor pendidikan sendiri juga dapat menjadi pemicu meningkatnya risiko terjadinya perkawinan anak dibawah umur. Faktor pendidikan sangat mepengaruhi kematangan pengetahuan, informasi, edukasi, dan komunikasi terkait dampak perkawinan anak baik dari sisi orang tua maupun anak. Orang tua dengan pendidikan terbatas, cenderung memiliki wawasan yang lebih rendah terhadap dampak perkawinan anak.

8. Agama 

Mayoritas penduduk Indonesia beragama Islam dimana memiliki nilai, keyakinan, dan panduan mengenai tata cara perkawinan. Secara Agama perkawinan dapat dilakukan ketika seorang muslim (laki-laki maupun perempuan) telah memasuki usia remaja yang ditandai dengan perubahan fisik yang disebut dengan istilah “akhir baligh”.
Oleh karena itu, praktik perkawinan anak dianggap bukanlah tindakan yang melanggar norma atau syariat agama Islam sepanjang persyaratan dan tata caranya telah sesuai ajaran agama. Praktik perkawinan anak dinilai sebagai upaya untuk menghindarkan anak dari perzinahan yang merupakan salah satu perbuatan dosa besar dalam keyakinan umat muslim.

9. Hukum 

Dalam Pasal 7 UU Nomor 16/2019 tentang Perkawinan sebenarnya telah memperketat prosedur pemberian dispensasi batas usia minimal perkawinan.  
Mahkamah Agung pada tanggal 21 November 2019 telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 5 Tahun 2019 Tentang Pedoman Mengadili Permohonan Dispensasi Kawin.  
Peraturan tersebut sebagai pedoman teknis bagi para hakim dalam proses persidangan permohonan dispensasi perkawinan bagi calon pengantin yang masih berusia dibawah umur. Namun, dalam pelaksanaannya, pedoman tersebut kurang konsisten dijadikan acuan dalam mengambil keputusan oleh hakim, dan penerapan prosedur yang tidak seharusnya ini dijadikan celah praktik perkawinan anak yang ‘dilegalkan’ oleh Undang Undang

Posting Komentar untuk "Pernikahan Dibawah Umur : Penyebab, Dampak, dan Pencegahan"